4. Implementasi Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Kepala Banteng |
Sila keempat ini mempunyai makna bahwa kekuasaan ada di
tangan rakyat, dan dalam melaksanakan kekuasaannya, rakyat menjalankan sistem
perwakilan (rakyat memilih wakil-wakilnya melalui pemilihan umum) dan
keputusan-keputusan yang diambil dilakukan dengan jalan musyawarah yang
dikendalikan dengan pikiran yang sehat, jernih, logis, serta penuh tanggung
jawab baik kepada Tuhan maupun rakyat yang diwakilinya. Butir-butir
implementasi sila keempat adalah sebagai berikut:
1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Butir ini menghendaki masyarakat harus mengawal wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu, agar setiap keputusan wakil rakyat mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Keputusan penting seperti penjualan aset negara, perjanjian imbal dagang antar negara, impor beras, kenaikan BBM dan listrik, dan lain-lain, harus berdasar kepentingan rakyat dan bukan kepentingan pejabat. Rakyat dalam hal ini berperan aktif dalam memberikan koreksi yang membangun dengan cara santun, dan memberi sanksi setiap pelanggaran pada pemilu selanjutnya.
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Butir ini menghendaki setiap warga negara untuk tida memaksakan kehendak kepada orang lain, menghormati setiap perbedaan, dan dengan akal yang sehat melakukan kompromoi demi kebaikan masyarakat dan negara.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Butir ini menghendaki adanya musyawarah yaitu pembahasan secara bersama-sama atas suatu penyelesaian masalah. Oleh sebab itu dalam mengambil keputusan mengenai suatu masalah harus melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan, dan memecahkan secara bersama. Musyawarah dapat dilakukan dalam pemecahan masalah di dalam keluarga, masyarkat, dan negara.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. Butir ini menghendaki agar pengambilan keputusan secara bersama-sama didasarkan semangat kekeluargaan yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat dan mendasar di masyarakat. Dengan adanya rasa kekerabatan yang erat, maka musyawarah akan berjalan dengan baik, tidak saling menang-menangan, namun semua akan merasa menang, terakomodasi, serta mementingkan kepentingan bersama.
5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. Butir ini menghendaki, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah untuk diterima dan dilaksanakan dengan baik. Oleh sebab itu, sangat tidak demokratis apabila ada yang menolak, atau merasa kalah dalam musyawarah, kemudian tidak mau melaksanakan keputusan bersama. Penolakan hasil pemilu, atau pemilihan pemerintah daerah yang sudah dilakukan dengan baik, juga wujud dari tidak bertanggung jawabnya sebagian masyarakat.
6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani dan luhur. Butir ini menghendaki prinsip musyawarah dalam memecahkan masalah bukan menang dan kalah, serta kepentingan golongan, tetapi dengan menggunakan akal sehat, tidak mabuk dan anarki, sesuai dengan hati nurani, Kejujuran dan akal sehat merupakan cermin sikap takwa kepada Tuhan, sehingga segala keputusan tidak akan bertentangan dengan hukum Tuhan dan keselamatan umat manusia.
7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Butir ini menghendaki masyarakat harus mengawal wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu, agar setiap keputusan wakil rakyat mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Keputusan penting seperti penjualan aset negara, perjanjian imbal dagang antar negara, impor beras, kenaikan BBM dan listrik, dan lain-lain, harus berdasar kepentingan rakyat dan bukan kepentingan pejabat. Rakyat dalam hal ini berperan aktif dalam memberikan koreksi yang membangun dengan cara santun, dan memberi sanksi setiap pelanggaran pada pemilu selanjutnya.
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Butir ini menghendaki setiap warga negara untuk tida memaksakan kehendak kepada orang lain, menghormati setiap perbedaan, dan dengan akal yang sehat melakukan kompromoi demi kebaikan masyarakat dan negara.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Butir ini menghendaki adanya musyawarah yaitu pembahasan secara bersama-sama atas suatu penyelesaian masalah. Oleh sebab itu dalam mengambil keputusan mengenai suatu masalah harus melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan, dan memecahkan secara bersama. Musyawarah dapat dilakukan dalam pemecahan masalah di dalam keluarga, masyarkat, dan negara.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. Butir ini menghendaki agar pengambilan keputusan secara bersama-sama didasarkan semangat kekeluargaan yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat dan mendasar di masyarakat. Dengan adanya rasa kekerabatan yang erat, maka musyawarah akan berjalan dengan baik, tidak saling menang-menangan, namun semua akan merasa menang, terakomodasi, serta mementingkan kepentingan bersama.
5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. Butir ini menghendaki, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah untuk diterima dan dilaksanakan dengan baik. Oleh sebab itu, sangat tidak demokratis apabila ada yang menolak, atau merasa kalah dalam musyawarah, kemudian tidak mau melaksanakan keputusan bersama. Penolakan hasil pemilu, atau pemilihan pemerintah daerah yang sudah dilakukan dengan baik, juga wujud dari tidak bertanggung jawabnya sebagian masyarakat.
6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani dan luhur. Butir ini menghendaki prinsip musyawarah dalam memecahkan masalah bukan menang dan kalah, serta kepentingan golongan, tetapi dengan menggunakan akal sehat, tidak mabuk dan anarki, sesuai dengan hati nurani, Kejujuran dan akal sehat merupakan cermin sikap takwa kepada Tuhan, sehingga segala keputusan tidak akan bertentangan dengan hukum Tuhan dan keselamatan umat manusia.
7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.